DALAM sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma'arif menilai pemerintah saat ini menunjukkan gejala mati rasa terhadap berbagai persoalan. Apa yang disampaikan Buya Syafii itu, menurut pandangan saya, tidak saja mengandung kebenaran, tapi lebih daripada itu sejatinya bisa menjadi evaluasi politik 2010 sekaligus 'cetak biru' untuk menggambarkan politik Indonesia ke depan. Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya era reformasi tahun 1998, membumbung pula harapan masyarakat akan adanya perbaikan di semua lini kehidupan. Itu bisa dipahami karena sepanjang Orde Baru berkuasa, nilai-nilai demokrasi telah dikebiri lewat berbagai macam cara, semata untuk melanggengkan kekuasaan dan menyokong berbagai kepentingan si penguasa berikut kroni-kroninya. Harapan masyarakat itu harus diakui sempat terkanalisasi seiring dengan munculnya berbagai kebijakan yang dinilai bisa memberi penguatan pada nilai-nilai demokrasi. Baik di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Pers yang selama Orde Baru dipasung, misalnya, dibiarkan tumbuh dan berkembang sekaligus diberi kebebasan dengan diterbitkannya UU No 40/1999 tentang Pers. Sistem pemerintahan yang sebelumnya sangat sentralistik dan semuanya serba-'Jakartasentris' juga dibinasakan melalui keluarnya UU No22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU tersebut kemudian direvisi menjadi UU No 32/ 2004 dan UU No33/ 2004. Bahkan, yang sangat menjanjikan adalah soal pemilu presiden yang sebelumnya dilakukan secara tidak langsung (presiden dipilih MPR), sejak 2004, untuk kali pertama Indonesia menggelar pilpres secara langsung. Setahun kemudian, tepatnya Juni 2005, untuk pertama kalinya juga negeri ini menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) secara langsung.
Perubahan sistem pemilu itu tentu menjadi titik penting dalam upaya penguatan demokrasi di Indonesia karena kendati pemilu hanya instrumen, instrumen itulah, diakui atau tidak, yang menjadi esensi dari demokrasi. Lewat pemilu, terbangun ikatan politik antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahan terpilih sebagai penyelenggara kekuasaan. Ikatan itu tentu saja menimbulkan hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik itu dalam bentuk yang sederhana adalah: pemilih memberi legitimasi terhadap yang dipilih karena itu pemilih memiliki hak untuk melakukan kontrol dan pengawasan (tanggung gugat) terhadap yang dipilih. Atau, dari kacamata lain, pemerintahan yang dipilih memiliki kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberinya legitimasi kekuasaan.
Demokrasi masih semu?
Namun, apakah saat ini kondisinya sudah berbanding lurus dengan harapan yang telanjur membumbung tinggi itu? Jangankan berbanding lurus, mendekati pun publik pasti tidak melihatnya. Sebab dalam perkembangannya, harapan itu seolah mengalami stagnasi, bahkan layu tatkala penguatan demokrasi itu ternyata hanya menyentuh pada aspek prosedural, dan bukan substansial. Betapa tidak, karena dalam praktiknya meminjam istilah Buya Syafii penyelenggara negara dari waktu ke waktu semakin kuat menunjukkan gejala mati rasa.
Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010 berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang--relatif tak banyak berubah jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10 juta orang).
Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo, terjadinya 'kriminalisasi' terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh-contoh lain yang harus diakui kian mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan yang apik dan santun, toh penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus tersebut tetap saja dinilai jauh dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat.
Ironisnya lagi, perilaku yang tak populer di mata publik itu melibatkan elite-elite politik dari lintas partai. Mereka bukannya mengingatkan munculnya gejala mati rasa dari penyelenggara negara, melainkan sepertinya justru sengaja berkerumun di lingkar kekuasaan untuk kebagian 'kue' kekuasaan. Akibatnya, yang terekam ke publik adalah: parpol yang merupakan pilar demokrasi tak ubahnya kumpulan elite yang hanya berburu kekuasaan. Performa semacam itu diperparah lagi dengan kultur politik internal partai yang sebagian besar masih feodalistik. Situasi itu kemudian diperparah dengan perkembangan yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita tangkap akhir-akhir ini yakni munculnya 'politik barter', yakni keuntungan pribadi atau kelompok menjadi pertimbangan utama. Adanya politik barter jelas mencemaskan karena tidak saja berpotensi menggerus kualitas kebijakan, baik berupa aturan perundang-undangan atau keputusan dalam menentukan pilihan, tapi juga membuat pembahasan terhadap peraturan menjadi bertele-tele sekadar untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok semata. Lebih daripada itu, 'politik barter' memicu terbentuknya politik oligarki, sekaligus memunculkan demokrasi semu di Indonesia.
Harapan politik 2011
Dari kesemua fenomena yang terjadi itu, masihkah ada harapan bahwa 2011 nanti perpolitikan, konsolidasi demokrasi, akan menemui titik terang? Rasanya jika mengacu pada bagaimana penyelenggara negara menyikapinya, harapan itu masih menjadi impian. Jika tidak ada terobosan dan komitmen kuat dari penyelenggara negara dan juga elite-elite parpol ke arah mana keberpihakannya, yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan justru kian menipisnya kepercayaan publik di satu sisi dan menguatnya kekecewaan di sisi lain. Sebenarnya tidak seharusnya publik menyambut tahun 2011 dengan pesimisme yang akut karena filosofi bernegara adalah untuk melihat terwujudnya harapan dan kepentingan kolektif. Namun, dengan gejala-gejala politik akhir-akhir ini sepertinya memang menjadi warning bagi publik untuk siap menerima kekecewaan lagi. Sebut saja bagaimana penyelenggara negara memolemikkan keistimewaan Yogyakarta tatkala air mata sebagian warga Yogyakarta belum kering oleh bencana meletusnya Gunung Merapi. Dalam soal itu, mestinya sebagai sebuah bangsa kita wajib menghormati sejarah dan menjunjung tinggi kesepakatan para pendiri bangsa.
Belum lagi dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dengan Presiden dalam berbagai kesempatan menyatakan akan menghindari segala bentuk intervensi terhadap soal ini. Presiden lupa bahwa persoalan Gayus masih ditangani aparat kepolisian dan kejaksaan yang notabene merupakan domain eksekutif, bukan yudikatif. Penanganan hukum yang terksesan setengah-setengah seperti itu justru akan membuat kekecewaan publik semakin menumpuk. Celakanya, kekecewaan itu sepertinya akan memperoleh sumbu penyulut dengan bakal lahirnya berbagai kebijakan yang tidak populis dan cenderung hanya akan semakin membebani kehidupan rakyat sehari-hari. Misalnya bakal dinaikkannya lagi tarif dasar listrik atau dilakukannya pembatasan konsumsi BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi mulai tahun depan. Belum lagi, misalnya, rencana penaikan tarif kereta api kelas ekonomi. Karena, bagi rakyat, apa pun alasan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik ataupun membatasi penggunaan BBM bersubsidi tetap saja sulit dipahami dan diterima. Bahkan, bukan tidak mungkin, penaikan itu justru akan semakin menguatkan kecurigaan terjadinya 'patgulipat' di tingkat elite pusat sebagaimana halnya yang terjadi dalam penjualan PT Krakatau Steel, misalnya.
Pada gilirannya, semakin menipisnya kepercayaan serta menguatnya kekecewaan publik itu bukan tidak mungkin akan menyulut kemarahan dalam intensitas yang tinggi. Ini tentu perlu diwaspadai karena tidak hanya akan mengait dengan persoalan keamanan, tapi juga mempengaruhi stabilitas bidang-bidang lainnya.
Karena itulah, tidak bisa tidak, para penyelenggara negara, serta para elit politik di negeri ini harus segera melakukan evaluasi sekaligus reorientasi baik menyangkut perilaku maupun kepentingan. Sudah saatnya konsolidasi demokrasi tak lagi terus-menerus berkutat pada soal prosedural belaka, substansi dan etoslah yang mesti hadir dalam peradaban demokrasi kita di masa yang akan datang. Hal terpenting juga harapan publik atas penegakan hukum untuk tidak hanya diarahkan pada lawan politik kekuasaan, serta menghilangkan 'politik barter' juga harus diperhatikan. Karena harus diakui, bahwa kondisi politik kita sudah sangat maju dalam hal strategi, tetapi sangat rendah dalam hal etika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar