Nama : Tuti Handayani
NPM : 19210344
Kelas : 4EA13
Kasus Hak
Pekerja
Hak Pekerja
Yang Terabaikan
Mencengangkan ketika membaca berita tentang banyaknya
5.425 perusahaan mengabaikan iuran jamsostek yang notabene iuran tersebut
merupakan hak pekerja (inilahkoran, 19-4-2012).
Satu lagi masalah bagi para pekerja muncul, belum
selesai mereka dihantui bayang-bayang kenaikan harga BBM, kini mereka
dihadapkan pada sebuah kasus tidak dibayarnya iuran pekerja (peserta jamsostek)
oleh pihak perusahaan.
Besaran nominal angka yang belum dibayar bukanlah
angka yang kecil. Bahkan besaranya mencapai Rp 250 miliar. Yang lebih ironisnya
lagi bahwa angka tersebut adalah kenaikan angka dari tahun sebelumnya yang
mencapai angka 230 miliar. Artinya kasus terabaikannya hak pekerja bukan
terjadi kali ini saja, kasus tersebut sudah berangsur-angsur dari tahun
sebelumnya.
Total dana yang belum dibayar perusahaan berasal dari
beberapa jaminan-jaminan yang cukup penting seperti jaminan hari tua (JHT) yang
mencapai Rp 196 miliar, jaminan kecelakaan kerja(JKK) sebesar Rp 24 miliar,
jaminan kematian sebesar Rp 11 miliar, dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK)
sebesar Rp 18 miliar. Semua itu terbagi dalam komposisi kota Bekasi yang
mengantongi piutang mencapai Rp 131 miliar dari 444 perusahaan, Bogor Rp 60,1
miliar dari 124 perusahaan, Bandung sebesar 39,7 miliar dari 169
perusahaan, dan Cikarang sebesar Rp 26 miliar ari 189 perusahaan (inilahkoran,
19-4-2012).
Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa
kasus yang pernah terjadi sebelumnya bisa terjadi lagi di tahun sekarang?
Bahkan keadaanya lebih parah. Seharusnya pihak-pihak terkait menjadikan kasus
merugikan ini menjadi bahan evaluasi sebagai pijakan untuk tidak terulang lagi
di masa yang akan datang.
Tidak dibayarkanya iuran pekerja bukanlah perkara yang
remeh temeh. Hal ini merupakan suatu bentuk tidak profesionalnya perusahaan
yang berimbas terhadap minimnya perlindungan para pekerjanya.
Ketidakprofesionalan ini patut kita curigai sebagai bentuk lain dari
penggelapan dana karena regulasi dana yang bergerak sudah tidak sesuai dengan
prosedurnya. Jika sudah seperti itu jelas ini merupakan sebuah kasus
pelanggaran hukum.
Uluran Tangan
Tarjadinya kasus terabaikannya hak pekerja yang
diakibatkan oleh piutang jamsostek yang cukup tinggi perlu mendapat uluran
tangan baik dari pemerintah, lembaga-lembaga terkait maupun masyarakat.
Pemerintah dalam kasus ini harus berperan penuh sebagai pelindung rakyatnya
yang mengalami ketidakadilan. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dapat dijadikan kekuatan yuridis untuk menindaklanjuti
masalah ini. Pemerintah juga dapat mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan
lainnya seperti Keputusan Presiden (Kepres), Keputusan Mentri (Kepmen),
Peraturan Pemerintah (PP) dan lain-lain dalam menuntaskan kasus ini karena
semata-mata hal tersebut adalah upaya dalam memberangus hal-hal yang menghambat
pembangunan bangsa dan melindungi rakyat dari bentuk-bentuk ketidakdilan.
Lembaga-lembaga terkaitpun harus melakukan
berbagai pembenahan di semua lini. Terutama bagi pihak Jamsostek sendiri harus
sesegera mungkin menindaklanjuti kasus yang merugikan ini melalui
langkah-langkah yang bersifat taktis dan strategis agar kasus yang pernah
terjadi tidak berangsur-angsur berulang-ulang kembali. Langkah yang saat ini
dijalani pihak jamsostek Jabar Banten berupa penandatanganan kerjasama dengan
pihak kejaksaan tinggi (Kejati) Jabar patut diapresiasi.
Kita berharap melalui upaya tersebut masalah yang
terjadi dapat benar-benar tuntas teratasi, sedangkan bagi perusahaan-perusahaan
yang masih menyisakan utang harus merasa malu dan mawas diri. Perusahaan yang
memiliki kredibilitas tentu akan senantiasa mematuhi berbagai prosedur yang ada
bukannya melakukan berbagai pelanggaran. Perusahaan-perusahaan tersebut
harus sesegera mungkin melunasi utang. Hal tersebut merupakan langkah
yang profesional terutama dalam hal melindungi para pekerjanya.
Peran masyarakat pun dinilai sangat penting,
masyarakat dapat bertindak sebagai “problem controler” terhadap
segala aktivitas yang terjadi di sekelilingnya. Jika terjadi sesuatu yang
ganjil dapat sesegera mungkin melakukan upaya-upaya yang kongkret seperti
melakukan pengaduan kepada pihak terkait ataupun lembaga hukum setempat.
Maka dari itu langkah-langkah tersebut diharapkan
dapat berimplikasi dengan baik setidaknya mampu meminimalisir kelalaian
suatu perusahaan yang merugikan para pekerjanya. Dengan demikian
langkah-langkah yang dilakukan tersebut mampu menciptakan layanan jamsostek
yang profesional sehingga berimbas pada terpenuhinya hak-hak pekerja dan memperlancar
laju pembangunan bangsa.
Sumber :
Kasus Iklan Yang Tidak Etis
Iklan Tidak Beretika Dalam Sebuah
Iklan Permen Kopi (Espresso)
(Kopiko vs
Espresso)
Salah satu
iklan yang menarik perhatian saya adalah iklan sebuah produk permen kopi di
televisi yang terkenal dengan seruan “Makannya permen kopiko-song sih! Nih yang
berisi. Permen kopi pake isi!”.
Upaya
espresso dalam merebut pangsa pasar kopiko dengan melakukan combative
advertising atau iklan yang bersifat menyerang. Competitor. Dengan
maksud menanamkan bahwa produknya memiliki keunggulan isi dibandingkan dengan
produk Kopiko.
Terlihat jelas bagaimana espresso menampilkan secara
gamblang pernyataan menyebut “permen kopi-ko song” yang menbuat orang jadi
kopong atau bengong dalam iklan elektroniknya dan memperlihatkan espresso
adalah permen kopi dengan isi terlihat lebih fresh. Hal ini merupakan upaya
menjatuhkan brand Kopiko di mata pelanggannya. Menurut tinjauan etika
periklanan, pernyataan yang dilontarkan espreso terhadap Kopiko sudah melanggar
azas etika yang sudah disepakati.
Brand Positioning
Dalam iklan tersebut dibintangi oleh dua orang bintang
iklan “Narji” yang memakan permen kopi “kosong” terlihat sangat bodoh karena
tidak dapat menjawab pertanyaan dari temannya si “B” yang memberikan pertanyaan
aneh, “Kenapa superman jubahnya di belakang ?”. Lalu si “B” menepuk pundak
“Narji” dan jatuhlah permen kopi “kosong” tersebut dengan bunyi yang nyaring,
lalu si “B” berkata “Pantesan makannya permen kopi-ko song sih! Nih yang beri.
Permen kopi pake isi!”.
Target Pasar
Target pasar iklan ini adalah semua kalangan
masyarakat yang menginginkan permen rasa kopi. Iklan ini menggambarkan suatu
permen kopi yang berbeda dengan permen kopi yang sudah ada saat ini, yaitu
dengan memberikan differensiasi produk berupa permen kopi yang memiliki isi
pada bagian tengahnya.
Pembahasan
Kopiko adalah merk permen kopi yang sudah memiliki
pangsa pasar yang besar di Indonesia, dengan positioning sebagai permen kopi
yang lebih berasa kopi. Sedangkan espresso adalah brand pendatang baru dalam
kelas permen kopi yang ingin “memakan” pasar dari kopiko.
Cara espresso dalam memasarkan produk permen kopinya
terlihat “menjatuhkan” nama dari kopiko. Hal itu dapat dilihat dari iklan
komersial TV dari esspreso yang menyudutkan kopiko. Dari iklan tersebut, maka
nampak sekali suatu nilai emosional yang ditonjolkan dan tidak menampakkan
nilai etika dan edukasi sama sekali.
- “Permen kopi-ko song” : Nampaknya kalimat tersebut jelas ingin menyindir saingan produk permen kopi mereka, dari cara penyebutan dan pemenggalan serta pengucapan kata “kopi kosong” saja jelas kita dapat mengetahui merk permen kopi apa yang mereka maksud.
- Pertanyaan aneh yang tidak bisa dijawab : Ini seolah-olah seseorang terlihat bodoh karena memakan produk “permen kopi kosong”, padahal tidak ada hubungannya antara orang tersebut bisa menjawab atau tidak dengan permen yang ia makan.
- Bunyi yang nyaring ketika permen itu jatuh : Kejadian ini seolah menjelaskan poin di atas bahwa tong kosong nyaring bunyinya, artinya produk yang mereka maksud tidak memberikan sesuatu manfaat apapun bagi konsumennya.
Dari ketiga poin diatas nampak sekali kalo nilai nilai
emosi yang sangat ditonjolkan dalam iklan tersebut. Sehingga, dimana fungsi
iklan sebagai informasi terhadap masyarakat tidak nampak dan tidak memberikan
nilai edukasi apalagi hiburan.
Sumber
:
Kasus Etika Pasar Bebas
Pelanggaran
Hak Paten
Pelanggaran
Smartphone Apple Terhadap Samsung, Apple VS Samsung Galaxy
Seperti yang kita ketahui bahwa
Samsung, Android dan Apple saling berselisih, diberbagai belahan Dunia saling
tuduh menuduh tentang hak paten dan seakan tak berkesudahaan. Perang Hak paten
antara perusahaan Tehnology terbesar ini ada artikelnya ada pada laman situs Bussinesweek yang amat panjang, tetapi menarik untuk di baca.
Pada atikel BussinesWeek itu memaparkan perang paten antara
Apple dan berbagai produsen yang memproduksi produk-produk Android dan juga
artikel itu memberikan rincian bagaimana Apple terlibat dalam litigasi paten
dengan sejumlah pembuat smartphone Android, termasuk Samsung, Motorola dan HTC.
“Dalam perang paten telepon
pintar (smartphone), banyak hal yang dipertaruhkan. Perusahaan terkait
tak akan ragu mengeluarkan uang banyak demi menjadi pemenang,” kata pengacara
dari Latham & Watkins, Max Grant, dikutip dari Bloomberg, Jumat,
24 Agustus 2012. Menurut dia, ketika persoalan hak cipta sudah sampai di meja
hijau, maka perusahaan tidak lagi memikirkan bagaimana mereka harus menghemat
pengeluaran keuangan. Sebagai gambaran, Grant mengatakan, pengacara Apple diketahui memperoleh komisi
US$ 1.200 atau sekitar Rp 11,3 juta per jamnya untuk meyakinkan hakim dan juri
bahwa Samsung Electronics Co telah menyontek atau mencuri desain smartphone
Apple. Perusahaan yang dipimpin Tim Cook itu juga sudah menghabiskan total US$
2 juta atau sekitar Rp 18,9 miliar hanya untuk menghadirkan saksi ahli.
Meski kelihatan besar, uang
untuk pengacara dan saksi ahli tersebut sebenarnya tergolong kecil dan masih
masuk akal di “kantong” Apple ataupun Google. Sebagai contoh, biaya US$ 32 juta
yang dikeluarkan Apple dalam perang paten melawan Motorola Mobility setara
dengan hasil penjualan Apple iPhone selama enam jam.
Keduanya diminta menghentikan
penjualan produk tertentu. 10 produk Samsung, termasuk Galaxy SII, tak boleh
dijual lagi; 4 produk Apple, termasuk iPad 2 dan iPhone 4, juga demikian. Oleh
pengadilan Korea, Samsung diminta membayar denda 25 juta Won, sedangkan Apple
dikenakan denda sejumlah 40 juta Won atau setara US$ 35.400.
Upaya hukum pihak Apple pada
bulan Februari lalu sempat mengalami kemunduran saat hakim Koh menolak
permintaan Apple untuk melarang penjualan perangkat Samsung di Amerika Serikat.
Menurut Koh, paten desain Apple terlalu luas dan bahkan beberapa di antaranya
memiliki kemiripan dengan konsep yang ada di serial Knight Rider tahun 1994.
Atas putusan tersebut Apple melakukan upaya banding dan menyewa sebuah firma
hukum terkenal di Los Angeles untuk meningkatkan upaya perang paten yang sedang
berlangsung.
Keduanya diminta menghentikan
penjualan produk tertentu. 10 produk Samsung, termasuk Galaxy SII, tak boleh
dijual lagi; 4 produk Apple, termasuk iPad 2 dan iPhone 4, juga demikian. Oleh
pengadilan Korea, Samsung diminta membayar denda 25 juta Won, sedangkan Apple
dikenakan denda sejumlah 40 juta Won atau setara US$ 35.400.
Sumber :
Kasus Whistle Blowing
Tertangkapnya AS Bukti Efektifnya
Whistle Blower di Pajak
Ditjen
pajak menerpkan sistem whistle blowing, dalam memagari karyawannya agar tidak
berbuat nakal dan tergoda menerima suap. Sistem tersebut memungkinkan pengenaan
sanksi pada karywan dalam satu kelompok.
Publik
kembali dikejutkan dengan penangkapan seorang pegawai pajak. Pegawai berinisial
AS tersebut diduga menerima suap dari salah seorang Wajib Pajak. Penangkapan AS
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Legenda Wisata, Cibubur
pada Jumat siang tanggal 13 Juli 2012. Yang mengejutkan publik ternyata AS
merupakan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, sebagai Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KaKPP) Pratama Bogor. Penangkapan ini merupakan hasil kerjasama antara
Direktorat Kepatuhan Internal DJP dengan KPK. “Ini indikasi kuat berjalannya sistem
whistle blower, bahwa masyarakat bisa melaporkan jika ada indikasi penyimpangan
dan tim KPK akan segera menindaklanjuti. Saya sangat apresiasi dengan tim KPK,”
ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang dikutip beberapa media dalam jumpa pers
Sabtu lalu.
Jika menilik pernyataan Fuad
Rahmany ini maka modus operasi penangkapan pejabat pajak AS ini tidak berbeda
dengan penangkapan TH -salah seorang pegawai Pajak di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Sidoarjo Selatan- bulan silam. Beruntunnya kasus suap terkuak yang
menimpa pegawai Direktorat Jenderal Pajak kembali mendatangkan tudingan ke
tubuh instansi ini. Dikatakan reformasi birokrasi itu telah gagal. Benarkah?
Sejak tahun 2002 Direktorat
Jenderal Pajak telah melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk menuju good governance
dilakukan perbaikan secara mendasar terhadap sistem birokrasi. Memangkas jalur
birokrasi agar menjadi lebih sistematis dan efisien. Perbaikan struktur
organisasi dan administrasi tentu tak bisa berjalan tanpa sinergi dari SDM yang
handal dan berintegritas. Untuk pembenahan SDM ini, Direkrorat Jenderal Pajak
tak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang mendukung. Dari pemberian reward
dan punishment yang seimbang, hingga pemberlakuan whistleblowing system yang
mulanya menuai pro kontra di kalangan internal pegawai sendiri. Polemik yang
terlontar kebijakan tersebut hanya akan menjaring pelanggar kelas “teri”.
Whistleblowing system mulai
diberlakukan tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:
SE-11/PJ/2011. Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya
korektif dan peduli pada masyarakat luar dan pegawai DJP, agar bersama-sama
mengawal proses reformasi birokrasi.
Masyarakat diberi kesempatan
untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah disediakan.
Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan seluruh pegawai
DJP dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya, bawahannya, maupun
sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan Direktorat Jenderal
Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung. Antara lain dengan adanya
aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap pegawai untuk
mengadukan peyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap pegawai dapat
melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan. Pengaduan itu
kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi
Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi semacam
provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah menangkap
basah AS dan TH.
Informasi ini yang harus terus
disebarluaskan ke masyarakat. Bahwa tertangkapnya AS ini justeru karena
pengawasan berjalan efektif di internal Direktorat Jenderal Pajak. Jangan
sampai tertangkapnya AS jadi demotivasi bagi pegawai pajak lain, karena stigma
yang keliru. Direktorat Jenderal Pajak baru satu-satunya instansi pemerintahan
yang berani mengeluarkan kebijakan whistleblowing system ini dan menggandeng
KPK dalam pelaksanaannya. Mungkin bagi sebagian masyarakat kebijakan ini terdengar
agak kejam, seperti menggunting dalam lipatan. Karena setiap pegawai akan
menjadi mata-mata bagi pegawai lainnya. Tapi menurut penulis pengawasan melekat
dari lingkungan terdekat seperti ini cukup efesien. Karena mereka yang dalam
kesehariannya bersosialisasi dengan seorang pegawai biasanya akan lebih cepat
mencium ketidakberesan yang dilakukan pegawai tersebut.
Masyakat harus lebih adil dan
fair dalam menilai kasus tertangkapnya AS ini. Semua ini bisa terjadi karena
efektifnya sistem pengawasan internal tadi. Jadi reformasi birokrasi belum
gagal, justeru akan terus berlanjut. Seharusnya apresiasi diberikan ke pimpinan
Direktorat Jenderal Pajak, karena kebijakan whistleblowing system ini tidak
hanya menjaring “Ikan Teri” tapi juga “Kakap”.
Sumber :