Rabu, 08 Januari 2014

Kasus - Kasus (Etika Bisnis)

Nama          : Tuti Handayani
NPM           : 19210344
Kelas          : 4EA13
 
Kasus Hak Pekerja

Hak Pekerja Yang Terabaikan

Mencengangkan ketika membaca berita tentang banyaknya 5.425 perusahaan mengabaikan iuran jamsostek yang notabene iuran tersebut merupakan hak pekerja (inilahkoran, 19-4-2012).

Satu lagi masalah bagi para pekerja muncul, belum selesai mereka dihantui bayang-bayang kenaikan harga BBM, kini mereka dihadapkan pada sebuah kasus tidak dibayarnya iuran pekerja (peserta jamsostek) oleh pihak perusahaan.

Besaran nominal angka yang belum dibayar bukanlah angka yang kecil. Bahkan besaranya mencapai Rp 250 miliar. Yang lebih ironisnya lagi bahwa angka tersebut adalah kenaikan angka dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 230 miliar. Artinya kasus terabaikannya hak pekerja bukan terjadi kali ini saja, kasus tersebut sudah berangsur-angsur dari tahun sebelumnya.

Total dana yang belum dibayar perusahaan berasal dari beberapa jaminan-jaminan yang cukup penting seperti jaminan hari tua (JHT) yang mencapai Rp 196 miliar, jaminan kecelakaan kerja(JKK) sebesar Rp 24 miliar, jaminan kematian sebesar Rp 11 miliar, dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) sebesar Rp 18 miliar. Semua itu terbagi dalam komposisi kota Bekasi yang mengantongi piutang mencapai Rp 131 miliar dari 444 perusahaan, Bogor Rp 60,1 miliar dari 124 perusahaan, Bandung sebesar 39,7 miliar  dari  169 perusahaan, dan Cikarang sebesar Rp 26 miliar ari 189 perusahaan (inilahkoran, 19-4-2012).

Yang menjadi pertanyaan besar adalah  mengapa kasus yang  pernah terjadi sebelumnya bisa terjadi lagi di tahun sekarang? Bahkan keadaanya lebih parah. Seharusnya pihak-pihak terkait menjadikan kasus merugikan ini menjadi bahan evaluasi sebagai pijakan untuk tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Tidak dibayarkanya iuran pekerja bukanlah perkara yang remeh temeh. Hal ini merupakan suatu bentuk tidak profesionalnya perusahaan yang berimbas terhadap minimnya perlindungan para pekerjanya. Ketidakprofesionalan ini patut kita curigai sebagai bentuk lain dari penggelapan dana karena regulasi dana yang bergerak sudah tidak sesuai dengan prosedurnya. Jika sudah seperti itu jelas ini merupakan sebuah kasus pelanggaran hukum.

Uluran Tangan
Tarjadinya kasus terabaikannya hak pekerja yang diakibatkan oleh piutang jamsostek yang cukup tinggi perlu mendapat uluran tangan baik dari pemerintah, lembaga-lembaga terkait  maupun masyarakat. Pemerintah dalam kasus ini harus berperan penuh sebagai pelindung rakyatnya yang mengalami ketidakadilan. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dapat dijadikan kekuatan yuridis untuk  menindaklanjuti masalah ini. Pemerintah juga dapat mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan lainnya seperti Keputusan Presiden (Kepres), Keputusan Mentri (Kepmen), Peraturan Pemerintah (PP) dan lain-lain dalam menuntaskan kasus ini karena semata-mata hal tersebut adalah upaya dalam memberangus hal-hal yang menghambat pembangunan bangsa dan melindungi rakyat dari bentuk-bentuk ketidakdilan.

 Lembaga-lembaga terkaitpun harus melakukan berbagai pembenahan di semua lini. Terutama bagi pihak Jamsostek sendiri harus sesegera mungkin menindaklanjuti kasus yang merugikan ini melalui langkah-langkah yang bersifat taktis dan strategis agar kasus yang pernah terjadi tidak berangsur-angsur berulang-ulang kembali. Langkah yang saat ini dijalani pihak jamsostek Jabar Banten berupa penandatanganan kerjasama dengan pihak kejaksaan tinggi (Kejati) Jabar patut diapresiasi. 

Kita berharap melalui upaya tersebut masalah yang terjadi dapat benar-benar tuntas teratasi, sedangkan bagi perusahaan-perusahaan yang masih menyisakan utang harus merasa malu dan mawas diri. Perusahaan yang memiliki kredibilitas tentu akan senantiasa mematuhi berbagai prosedur yang ada bukannya melakukan berbagai pelanggaran.  Perusahaan-perusahaan tersebut harus sesegera mungkin melunasi utang. Hal tersebut  merupakan langkah yang profesional terutama dalam hal melindungi para pekerjanya.

Peran masyarakat pun dinilai sangat penting, masyarakat dapat bertindak sebagai “problem controler” terhadap segala aktivitas yang terjadi di sekelilingnya. Jika terjadi sesuatu yang ganjil dapat sesegera mungkin melakukan upaya-upaya yang kongkret seperti melakukan pengaduan kepada pihak terkait ataupun lembaga hukum setempat.

Maka dari itu langkah-langkah tersebut diharapkan dapat berimplikasi dengan  baik setidaknya mampu meminimalisir kelalaian suatu perusahaan yang merugikan para pekerjanya. Dengan demikian langkah-langkah yang dilakukan tersebut mampu menciptakan layanan jamsostek yang profesional sehingga berimbas pada terpenuhinya hak-hak pekerja dan memperlancar laju pembangunan bangsa.


 Sumber :

 
Kasus Iklan Yang Tidak Etis

Iklan Tidak Beretika Dalam Sebuah Iklan Permen Kopi (Espresso)
(Kopiko vs Espresso)

 Salah satu iklan yang menarik perhatian saya adalah iklan sebuah produk permen kopi di televisi yang terkenal dengan seruan “Makannya permen kopiko-song sih! Nih yang berisi. Permen kopi pake isi!”. 


Upaya espresso dalam merebut pangsa pasar kopiko dengan melakukan combative advertising atau iklan yang bersifat menyerang. Competitor. Dengan maksud menanamkan bahwa produknya memiliki keunggulan isi dibandingkan dengan produk Kopiko.

Terlihat jelas bagaimana espresso menampilkan secara gamblang pernyataan menyebut “permen kopi-ko song” yang menbuat orang jadi kopong atau bengong dalam iklan elektroniknya  dan memperlihatkan espresso adalah permen kopi dengan isi terlihat lebih fresh. Hal ini merupakan upaya menjatuhkan brand Kopiko di mata pelanggannya. Menurut tinjauan etika periklanan, pernyataan yang dilontarkan espreso terhadap Kopiko sudah melanggar azas etika yang  sudah disepakati.

Brand Positioning
Dalam iklan tersebut dibintangi oleh dua orang bintang iklan “Narji” yang memakan permen kopi “kosong” terlihat sangat bodoh karena tidak dapat menjawab pertanyaan dari temannya si “B” yang memberikan pertanyaan aneh, “Kenapa superman jubahnya di belakang ?”. Lalu si “B” menepuk pundak “Narji” dan jatuhlah permen kopi “kosong” tersebut dengan bunyi yang nyaring, lalu si “B” berkata “Pantesan makannya permen kopi-ko song sih! Nih yang beri. Permen kopi pake isi!”.

Target Pasar                                                                                
Target pasar iklan ini adalah semua kalangan masyarakat yang menginginkan permen rasa kopi. Iklan ini menggambarkan suatu permen kopi yang berbeda dengan permen kopi yang sudah ada saat ini, yaitu dengan memberikan differensiasi produk berupa permen kopi yang memiliki isi pada bagian tengahnya.

Pembahasan
Kopiko adalah merk permen kopi yang sudah memiliki pangsa pasar yang besar di Indonesia, dengan positioning sebagai permen kopi yang lebih berasa kopi. Sedangkan espresso adalah brand pendatang baru dalam kelas permen kopi yang ingin “memakan” pasar dari kopiko.

Cara espresso dalam memasarkan produk permen kopinya terlihat “menjatuhkan” nama dari kopiko. Hal itu dapat dilihat dari iklan komersial TV dari esspreso yang menyudutkan kopiko. Dari iklan tersebut, maka nampak sekali suatu nilai emosional yang ditonjolkan dan tidak menampakkan nilai etika dan edukasi sama sekali.
  1. “Permen kopi-ko song” :                                                                                               Nampaknya kalimat tersebut jelas ingin menyindir saingan produk permen kopi mereka, dari cara penyebutan dan pemenggalan serta pengucapan kata “kopi kosong” saja jelas kita dapat mengetahui merk permen kopi apa yang mereka maksud.
  2. Pertanyaan aneh yang tidak bisa dijawab :                                                                           Ini seolah-olah seseorang terlihat bodoh karena memakan produk “permen kopi kosong”, padahal tidak ada hubungannya antara orang tersebut bisa menjawab atau tidak dengan permen yang ia makan.
  3. Bunyi yang nyaring ketika permen itu jatuh : Kejadian ini seolah menjelaskan poin di atas bahwa tong kosong nyaring bunyinya, artinya produk yang mereka maksud tidak memberikan sesuatu manfaat apapun bagi konsumennya.
Dari ketiga poin diatas nampak sekali kalo nilai nilai emosi yang sangat ditonjolkan dalam iklan tersebut. Sehingga, dimana fungsi iklan sebagai informasi terhadap masyarakat tidak nampak dan tidak memberikan nilai edukasi apalagi hiburan.

Sumber :

 
Kasus Etika Pasar Bebas

Pelanggaran Hak Paten
Pelanggaran Smartphone Apple Terhadap Samsung, Apple VS Samsung Galaxy

Seperti yang kita ketahui bahwa Samsung, Android dan Apple saling berselisih, diberbagai belahan Dunia saling tuduh menuduh tentang hak paten dan seakan tak berkesudahaan. Perang Hak paten antara perusahaan Tehnology terbesar ini ada artikelnya ada pada laman situs Bussinesweek yang amat panjang, tetapi menarik untuk di baca. Pada atikel BussinesWeek itu memaparkan perang paten antara Apple dan berbagai produsen yang memproduksi produk-produk Android dan juga artikel itu memberikan rincian bagaimana Apple terlibat dalam litigasi paten dengan sejumlah pembuat smartphone Android, termasuk Samsung, Motorola dan HTC.

“Dalam perang paten telepon pintar (smartphone), banyak hal yang dipertaruhkan. Perusahaan terkait tak akan ragu mengeluarkan uang banyak demi menjadi pemenang,” kata pengacara dari Latham & Watkins, Max Grant, dikutip dari Bloomberg, Jumat, 24 Agustus 2012. Menurut dia, ketika persoalan hak cipta sudah sampai di meja hijau, maka perusahaan tidak lagi memikirkan bagaimana mereka harus menghemat pengeluaran keuangan. Sebagai gambaran, Grant mengatakan, pengacara Apple diketahui memperoleh komisi US$ 1.200 atau sekitar Rp 11,3 juta per jamnya untuk meyakinkan hakim dan juri bahwa Samsung Electronics Co telah menyontek atau mencuri desain smartphone Apple. Perusahaan yang dipimpin Tim Cook itu juga sudah menghabiskan total US$ 2 juta atau sekitar Rp 18,9 miliar hanya untuk menghadirkan saksi ahli.

Meski kelihatan besar, uang untuk pengacara dan saksi ahli tersebut sebenarnya tergolong kecil dan masih masuk akal di “kantong” Apple ataupun Google. Sebagai contoh, biaya US$ 32 juta yang dikeluarkan Apple dalam perang paten melawan Motorola Mobility setara dengan hasil penjualan Apple iPhone selama enam jam.

Keduanya diminta menghentikan penjualan produk tertentu. 10 produk Samsung, termasuk Galaxy SII, tak boleh dijual lagi; 4 produk Apple, termasuk iPad 2 dan iPhone 4, juga demikian. Oleh pengadilan Korea, Samsung diminta membayar denda 25 juta Won, sedangkan Apple dikenakan denda sejumlah 40 juta Won atau setara US$ 35.400.

Upaya hukum pihak Apple pada bulan Februari lalu sempat mengalami kemunduran saat hakim Koh menolak permintaan Apple untuk melarang penjualan perangkat Samsung di Amerika Serikat. Menurut Koh, paten desain Apple terlalu luas dan bahkan beberapa di antaranya memiliki kemiripan dengan konsep yang ada di serial Knight Rider tahun 1994. Atas putusan tersebut Apple melakukan upaya banding dan menyewa sebuah firma hukum terkenal di Los Angeles untuk meningkatkan upaya perang paten yang sedang berlangsung.

Keduanya diminta menghentikan penjualan produk tertentu. 10 produk Samsung, termasuk Galaxy SII, tak boleh dijual lagi; 4 produk Apple, termasuk iPad 2 dan iPhone 4, juga demikian. Oleh pengadilan Korea, Samsung diminta membayar denda 25 juta Won, sedangkan Apple dikenakan denda sejumlah 40 juta Won atau setara US$ 35.400.

Sumber  :


Kasus Whistle Blowing

Tertangkapnya AS Bukti Efektifnya Whistle Blower di Pajak
            
Ditjen pajak menerpkan sistem whistle blowing, dalam memagari karyawannya agar tidak berbuat nakal dan tergoda menerima suap. Sistem tersebut memungkinkan pengenaan sanksi pada karywan dalam satu kelompok.
Publik kembali dikejutkan dengan penangkapan seorang pegawai pajak. Pegawai berinisial AS tersebut diduga menerima suap dari salah seorang Wajib Pajak. Penangkapan AS dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Legenda Wisata, Cibubur pada Jumat siang tanggal 13 Juli 2012. Yang mengejutkan publik ternyata AS merupakan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KaKPP) Pratama Bogor. Penangkapan ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Kepatuhan Internal DJP dengan KPK. “Ini indikasi kuat berjalannya sistem whistle blower, bahwa masyarakat bisa melaporkan jika ada indikasi penyimpangan dan tim KPK akan segera menindaklanjuti. Saya sangat apresiasi dengan tim KPK,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang dikutip beberapa media dalam jumpa pers Sabtu lalu.

Jika menilik pernyataan Fuad Rahmany ini maka modus operasi penangkapan pejabat pajak AS ini tidak berbeda dengan penangkapan TH -salah seorang pegawai Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo Selatan- bulan silam. Beruntunnya kasus suap terkuak yang menimpa pegawai Direktorat Jenderal Pajak kembali mendatangkan tudingan ke tubuh instansi ini. Dikatakan reformasi birokrasi itu telah gagal. Benarkah?

Sejak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak telah melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk menuju good governance dilakukan perbaikan secara mendasar terhadap sistem birokrasi. Memangkas jalur birokrasi agar menjadi lebih sistematis dan efisien. Perbaikan struktur organisasi dan administrasi tentu tak bisa berjalan tanpa sinergi dari SDM yang handal dan berintegritas. Untuk pembenahan SDM ini, Direkrorat Jenderal Pajak tak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang mendukung. Dari pemberian reward dan punishment yang seimbang, hingga pemberlakuan whistleblowing system yang mulanya menuai pro kontra di kalangan internal pegawai sendiri. Polemik yang terlontar kebijakan tersebut hanya akan menjaring pelanggar kelas “teri”.

Whistleblowing system mulai diberlakukan tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-11/PJ/2011. Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya korektif dan peduli pada masyarakat luar dan pegawai DJP, agar bersama-sama mengawal proses reformasi birokrasi.

Masyarakat diberi kesempatan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah disediakan. Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan seluruh pegawai DJP dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya, bawahannya, maupun sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan Direktorat Jenderal Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung. Antara lain dengan adanya aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap pegawai untuk mengadukan peyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap pegawai dapat melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan. Pengaduan itu kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi semacam provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah menangkap basah AS dan TH.

Informasi ini yang harus terus disebarluaskan ke masyarakat. Bahwa tertangkapnya AS ini justeru karena pengawasan berjalan efektif di internal Direktorat Jenderal Pajak. Jangan sampai tertangkapnya AS jadi demotivasi bagi pegawai pajak lain, karena stigma yang keliru. Direktorat Jenderal Pajak baru satu-satunya instansi pemerintahan yang berani mengeluarkan kebijakan whistleblowing system ini dan menggandeng KPK dalam pelaksanaannya. Mungkin bagi sebagian masyarakat kebijakan ini terdengar agak kejam, seperti menggunting dalam lipatan. Karena setiap pegawai akan menjadi mata-mata bagi pegawai lainnya. Tapi menurut penulis pengawasan melekat dari lingkungan terdekat seperti ini cukup efesien. Karena mereka yang dalam kesehariannya bersosialisasi dengan seorang pegawai biasanya akan lebih cepat mencium ketidakberesan yang dilakukan pegawai tersebut.

Masyakat harus lebih adil dan fair dalam menilai kasus tertangkapnya AS ini. Semua ini bisa terjadi karena efektifnya sistem pengawasan internal tadi. Jadi reformasi birokrasi belum gagal, justeru akan terus berlanjut. Seharusnya apresiasi diberikan ke pimpinan Direktorat Jenderal Pajak, karena kebijakan whistleblowing system ini tidak hanya menjaring “Ikan Teri” tapi juga “Kakap”.

Sumber :