Rabu, 01 Juni 2011

Politik Indonesia

DALAM sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma'arif menilai pemerintah saat ini menunjukkan gejala mati rasa terhadap berbagai persoalan. Apa yang disampaikan Buya Syafii itu, menurut pandangan saya, tidak saja mengandung kebenaran, tapi lebih daripada itu sejatinya bisa menjadi evaluasi politik 2010 sekaligus 'cetak biru' untuk menggambarkan politik Indonesia ke depan. Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya era reformasi tahun 1998, membumbung pula harapan masyarakat akan adanya perbaikan di semua lini kehidupan. Itu bisa dipahami karena sepanjang Orde Baru berkuasa, nilai-nilai demokrasi telah dikebiri lewat berbagai macam cara, semata untuk melanggengkan kekuasaan dan menyokong berbagai kepentingan si penguasa berikut kroni-kroninya. Harapan masyarakat itu harus diakui sempat terkanalisasi seiring dengan munculnya berbagai kebijakan yang dinilai bisa memberi penguatan pada nilai-nilai demokrasi. Baik di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Pers yang selama Orde Baru dipasung, misalnya, dibiarkan tumbuh dan berkembang sekaligus diberi kebebasan dengan diterbitkannya UU No 40/1999 tentang Pers. Sistem pemerintahan yang sebelumnya sangat sentralistik dan semuanya serba-'Jakartasentris' juga dibinasakan melalui keluarnya UU No22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU tersebut kemudian direvisi menjadi UU No 32/ 2004 dan UU No33/ 2004. Bahkan, yang sangat menjanjikan adalah soal pemilu presiden yang sebelumnya dilakukan secara tidak langsung (presiden dipilih MPR), sejak 2004, untuk kali pertama Indonesia menggelar pilpres secara langsung. Setahun kemudian, tepatnya Juni 2005, untuk pertama kalinya juga negeri ini menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) secara langsung.

Perubahan sistem pemilu itu tentu menjadi titik penting dalam upaya penguatan demokrasi di Indonesia karena kendati pemilu hanya instrumen, instrumen itulah, diakui atau tidak, yang menjadi esensi dari demokrasi. Lewat pemilu, terbangun ikatan politik antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahan terpilih sebagai penyelenggara kekuasaan. Ikatan itu tentu saja menimbulkan hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik itu dalam bentuk yang sederhana adalah: pemilih memberi legitimasi terhadap yang dipilih karena itu pemilih memiliki hak untuk melakukan kontrol dan pengawasan (tanggung gugat) terhadap yang dipilih. Atau, dari kacamata lain, pemerintahan yang dipilih memiliki kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberinya legitimasi kekuasaan.

Demokrasi masih semu?
Namun, apakah saat ini kondisinya sudah berbanding lurus dengan harapan yang telanjur membumbung tinggi itu? Jangankan berbanding lurus, mendekati pun publik pasti tidak melihatnya. Sebab dalam perkembangannya, harapan itu seolah mengalami stagnasi, bahkan layu tatkala penguatan demokrasi itu ternyata hanya menyentuh pada aspek prosedural, dan bukan substansial. Betapa tidak, karena dalam praktiknya meminjam istilah Buya Syafii penyelenggara negara dari waktu ke waktu semakin kuat menunjukkan gejala mati rasa.
Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010 berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang--relatif tak banyak berubah jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10 juta orang).
Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo, terjadinya 'kriminalisasi' terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh-contoh lain yang harus diakui kian mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan yang apik dan santun, toh penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus tersebut tetap saja dinilai jauh dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat.

Ironisnya lagi, perilaku yang tak populer di mata publik itu melibatkan elite-elite politik dari lintas partai. Mereka bukannya mengingatkan munculnya gejala mati rasa dari penyelenggara negara, melainkan sepertinya justru sengaja berkerumun di lingkar kekuasaan untuk kebagian 'kue' kekuasaan. Akibatnya, yang terekam ke publik adalah: parpol yang merupakan pilar demokrasi tak ubahnya kumpulan elite yang hanya berburu kekuasaan. Performa semacam itu diperparah lagi dengan kultur politik internal partai yang sebagian besar masih feodalistik. Situasi itu kemudian diperparah dengan perkembangan yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita tangkap akhir-akhir ini yakni munculnya 'politik barter', yakni keuntungan pribadi atau kelompok menjadi pertimbangan utama. Adanya politik barter jelas mencemaskan karena tidak saja berpotensi menggerus kualitas kebijakan, baik berupa aturan perundang-undangan atau keputusan dalam menentukan pilihan, tapi juga membuat pembahasan terhadap peraturan menjadi bertele-tele sekadar untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok semata. Lebih daripada itu, 'politik barter' memicu terbentuknya politik oligarki, sekaligus memunculkan demokrasi semu di Indonesia.

Harapan politik 2011
Dari kesemua fenomena yang terjadi itu, masihkah ada harapan bahwa 2011 nanti perpolitikan, konsolidasi demokrasi, akan menemui titik terang? Rasanya jika mengacu pada bagaimana penyelenggara negara menyikapinya, harapan itu masih menjadi impian. Jika tidak ada terobosan dan komitmen kuat dari penyelenggara negara dan juga elite-elite parpol ke arah mana keberpihakannya, yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan justru kian menipisnya kepercayaan publik di satu sisi dan menguatnya kekecewaan di sisi lain. Sebenarnya tidak seharusnya publik menyambut tahun 2011 dengan pesimisme yang akut karena filosofi bernegara adalah untuk melihat terwujudnya harapan dan kepentingan kolektif. Namun, dengan gejala-gejala politik akhir-akhir ini sepertinya memang menjadi warning bagi publik untuk siap menerima kekecewaan lagi. Sebut saja bagaimana penyelenggara negara memolemikkan keistimewaan Yogyakarta tatkala air mata sebagian warga Yogyakarta belum kering oleh bencana meletusnya Gunung Merapi. Dalam soal itu, mestinya sebagai sebuah bangsa kita wajib menghormati sejarah dan menjunjung tinggi kesepakatan para pendiri bangsa.
Belum lagi dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dengan Presiden dalam berbagai kesempatan menyatakan akan menghindari segala bentuk intervensi terhadap soal ini. Presiden lupa bahwa persoalan Gayus masih ditangani aparat kepolisian dan kejaksaan yang notabene merupakan domain eksekutif, bukan yudikatif. Penanganan hukum yang terksesan setengah-setengah seperti itu justru akan membuat kekecewaan publik semakin menumpuk. Celakanya, kekecewaan itu sepertinya akan memperoleh sumbu penyulut dengan bakal lahirnya berbagai kebijakan yang tidak populis dan cenderung hanya akan semakin membebani kehidupan rakyat sehari-hari. Misalnya bakal dinaikkannya lagi tarif dasar listrik atau dilakukannya pembatasan konsumsi BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi mulai tahun depan. Belum lagi, misalnya, rencana penaikan tarif kereta api kelas ekonomi. Karena, bagi rakyat, apa pun alasan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik ataupun membatasi penggunaan BBM bersubsidi tetap saja sulit dipahami dan diterima. Bahkan, bukan tidak mungkin, penaikan itu justru akan semakin menguatkan kecurigaan terjadinya 'patgulipat' di tingkat elite pusat sebagaimana halnya yang terjadi dalam penjualan PT Krakatau Steel, misalnya.
Pada gilirannya, semakin menipisnya kepercayaan serta menguatnya kekecewaan publik itu bukan tidak mungkin akan menyulut kemarahan dalam intensitas yang tinggi. Ini tentu perlu diwaspadai karena tidak hanya akan mengait dengan persoalan keamanan, tapi juga mempengaruhi stabilitas bidang-bidang lainnya.
Karena itulah, tidak bisa tidak, para penyelenggara negara, serta para elit politik di negeri ini harus segera melakukan evaluasi sekaligus reorientasi baik menyangkut perilaku maupun kepentingan. Sudah saatnya konsolidasi demokrasi tak lagi terus-menerus berkutat pada soal prosedural belaka, substansi dan etoslah yang mesti hadir dalam peradaban demokrasi kita di masa yang akan datang. Hal terpenting juga harapan publik atas penegakan hukum untuk tidak hanya diarahkan pada lawan politik kekuasaan, serta menghilangkan 'politik barter' juga harus diperhatikan. Karena harus diakui, bahwa kondisi politik kita sudah sangat maju dalam hal strategi, tetapi sangat rendah dalam hal etika.

Meteor Masuki Atmosfer Bumi

Pada 20 Mei 2011 lalu, sebuah meteor sebesar manusia yakni berukuran 6 kaki atau sekitar 1,8 meter nyaris menabrak Bumi. Meteor itu menembus atmosfir Bumi sampai akhirnya ia habis terbakar. Tepatnya di kawasan Georgia, Amerika Serikat.

Meteor itu sempat meninggalkan empat kobaran api saat ia terpecah berkeping-keping dalam beberapa kali ledakan.

Menurut catatan, meteor ini merupakan meteor terbesar yang pernah terpantau sejak Marshall Space Flight Center NASA beroperasi sejak tiga tahun lalu. Diperkirakan, ia merupakan seriphan dari sebuah komet yang belum diketahui yang masuk ke atmosfir pada ketinggian sekitar 100 kilometer di atas kota Macon, Georgia, Amerika Serikat.

Dari rekaman yang ditangkap oleh dua kamera NASA, diketahui bahwa meteor itu bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan sekitar 38 kilometer per detik atau sekitar 138 ribu kilometer per jam.

Dengan kecepatan ini, benda asing itu memiliki energi serupa dengan 500 sampai 1.000 ton bom TNT jika menabrak Bumi. Berikut ini Video: Meteor Masuki Atmosfir Bumi.

Ekonomi Indonesia

Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.

Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.

Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik

Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar [4] tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar [5] telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar [6] ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.

Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar [7] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.

Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [8] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.

Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.

Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [9] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001[11] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB [12]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [13]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [14], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.